Manga Mania
Selamat datang~
Manga Mania
Selamat datang~
Manga Mania
Would you like to react to this message? Create an account in a few clicks or log in to continue.



 
IndeksLatest imagesPencarianPendaftaranLogin
Roleplaynya sudah dibuka! Selamat daftar~

 

  Poor Prince (Benar-Benar Miskin)_Chapitre 1_We Need Workers!

Go down 
PengirimMessage
Kyouko Fujita
The Master
Kyouko Fujita


Jumlah posting : 444
Join date : 01.09.11
Age : 26
Lokasi : Hinamizawa

	Poor Prince (Benar-Benar Miskin)_Chapitre 1_We Need Workers! Empty
PostSubyek: Poor Prince (Benar-Benar Miskin)_Chapitre 1_We Need Workers!   	Poor Prince (Benar-Benar Miskin)_Chapitre 1_We Need Workers! Icon_minitimeSat Dec 03, 2011 4:38 pm

Category: Books
Genre: Comics & Graphic Novels
Author: CLAMP no Yaoi (not me)
“The country has been decided.”, kata Lelouch sambil menaruh gagang telepon di tempat semula.
Empat cowok lain yang duduk di sofa putih itu langsung menatap Lelouch kaget. Salah satu dari mereka langsung bertanya, “Which country?”, tanya Yukito.
“Indonesia.”, jawab Lelouch.
“Indonesia?”, Kamui, Kazahaya, Yukito dan Kimihiro kaget.
“Yes.”, jawab Lelouch, “Wanna join?”
Empat cowok manis itu berpandangan sesaat, dan mengangguk bersamaan, “Of course we’ll go with you!”

***

Bandara Soekarno Hatta, Jakarta.

Seluruh penumpang harap mengencangkan sabuk pengaman. Kami ulangi. For all passangers...
Yukito melihat ke bawah.
“Kimihiro. Kimihiro, bangun. Kita sudah sampai.”, kata Yukito bersemangat sambil mengguncang tubuh sepupunya itu.
“Hah? Are we late for the class?”, tanya Kimihiro.
“Hello? It’s Indonesia. Pake kemampuan bahasa asing kamu.”, kata Yukito.
“Oh...”, Kimihiro mengucek matanya, “Aku ketiduran ya?”
Yukito hanya geleng-geleng kepala.
“Udah nyampe nih.”, kata Kamui sambil ngulet.
“Capek juga ya. Nggak nyangka duduk tiga belas jam bakal sepegel ini.”, sambung Kazahaya.
“Bandaranya nggak begitu bagus ya. Masih bagus Singapura.”, komentar Lelouch.
“Jangan berkata seperti itu. Kamu akan menghabiskan satu tahun di sini.”, kata Alfred, seorang kepala pelayan yang mengawal mereka berlima. Umurnya boleh lewat lima puluh, namun kekuatan tubuhnya jangan ditanya.
“If Dad didn’t ask me to, I, for sure, don’t wanna do this.”, kata Lelouch sambil melepaskan sabuk pengaman.
“Cobalah untuk kerasan disini.”, kata Alfred sabar.
(Di sini OST-nya Eiffel I’m in Love, Tak Tahan Lagi mengalun)
Mereka berenam berdiri dari kursi pesawat yang menjadi tempat duduk mereka dari Swiss tiga belas jam yang lalu. Penerbangan internasional yang membawa mereka ke Indonesia ini baru saja mendarat. Alfred memimpin jalan dan turun ke lapangan yang bising dan berangin kencang itu. Lelouch dan yang lain langsung memakai kacamata hitam mereka karena tak tahan dengan silau dan panas matahari Jakarta. Mereka berjalan ke ruang dalam bandara untuk mengambil barang-barang mereka. Kazahaya sudah terlihat tak betah.
“Sumpah ya, panas banget! Nggak kuat.”, keluhnya sambil mengipasi badan dengan tiket pesawat.
“Yah, namanya juga negara tropis.”, jawab Yukito sabar.
“Tapi panasnya ngalahin musim panas di Swiss.”, kata Kamui.
“Ngingetin waktu kita liburan musim panas di Hawaii deh.”, celetuk Kimihiro.
“Beda! Hawaii itu panasnya enak, nggak kayak disini. Sumpek banget, ngerasa nggak sih?”, kata Kazahaya yang makin semangat kipas-kipas.
“Soalnya ini kota terpadat di Indonesia. Dan terberpolusi juga sih. Kamu udah baca buku petunjuk belum sih?”, tanya Lelouch sambil menyeruput Starbucks botolannya.
“Nanya dia. Paling cuma forewords-nya doang.”, kata Kamui jahil.
“The book says that Indonesian people are friendly.”, kata Kimihiro sambil ngeliatin banyak sekali cowok yang flirting nggak jelas ke arah mereka. Setiap langkah mereka ada aja yang ngeliatin. Wajar sih, lima orang cantik dengan setelan yang dari Monas aja terlihat mahalnya, gimana orang-orang nggak tertarik?
“Too friendly, I guess.”, kata Yukito pendek.
Mereka berjalan di sepanjang koridor bandara dan diliatin sama semua orang yang mereka lewati. Cowok-cowok, nggak yang muda, yang tua, yang cakep, yang jelek, yang baik adat sampe yang nggak tau diri pada merhatiin mereka dengan tatapan kagum dan naksir. Beberapa bahkan ada yang nyuitin, nyiulin dan nyapa-nyapa nggak jelas. Dan pastilah cukup bikin kuping Kamui cs panas dibuatnya. Mereka baru beberapa menit di Indonesia tapi udah nggak tahan dengan kelakuan cowok-cowok itu. Kamui langsung merapatkan jalannya ke Kazahaya. Kimihiro malah berani melototin cowok mata keranjang itu. Yukito sendiri tak peduli. Lelouch, secara dia paling dingin, dia menatap cowok-cowok itu dengan tatapan merendahkan. Ia membuka kacamata hitamnya.
“Disgusting.”, katanya pendek.
Alfred hanya tersenyum simpul melihat kelakuan lima bersaudara yang angkuh itu. Dilahirkan sebagai penerus bisnis keluarga masing-masing dengan jaminan kekayaan yang tak akan habis tujuh turunan, mereka tumbuh sebagai anak muda yang anggun dan berkelas. Hidup dalam gelimangan harta namun didikan cukup keras membuat mereka mandiri. Ini semua agar mereka mampu meneruskan bisnis kaliber dunia yang sudah dirintis dari generasi ke generasi. Mereka berlima bersepupu dari orang tua mereka yang bersaudara kandung. Karena tugas orang tua mereka, mereka sudah biasa berpindah-pindah negara juga sekolah. Termasuk misi mereka kali ini di Indonesia.
Kamui Shirou, pewaris hotel Ritz yang cabangnya ada ratusan di seluruh dunia. Hotel bintang lima yang dirintis oleh buyutnya. Kedatangannya kali ini untuk survey resort di negara tropis. Kazahaya Kudou, pewaris perusahaan merk teh terkemuka, Twinnings Tea. Bisnis minuman instan dengan omset trilyunan per tahun. Sama dengan Kamui, dia hendak melihat peluang bisnis teh di Indonesia. Watanuki Kimihiro, seorang desainer terkemuka yang mengusung merk Prada. Fashion brand yang setiap barangnya kena pajak barang impor. Ia ke Indonesia untuk mempopulerkan koleksi tropisnya. Yukito Tsukishiro, pewaris kursi direktur usaha Bread Talk yang kini sedang sibuk membuka cabang dimana-mana. Sejauh ini sudah seratus cabang di Asia. Ia ikut datang untuk melakukan pengecekan ke setiap cabangnya.
Sebenarnya mereka berempat juga menemani saudara sepupu mereka yang satu ini. Lelouch vi Britania, putra tunggal Perdana Menteri Swiss yang ditugaskan menjadi duta besar sementara di Indonesia, membantu dubes utama. Selain untuk pelatihan ilmu kenegaraan, Lelouch juga ingin melakukan penelitian terhadap negara berkembang dan Indonesia menjadi pilihannya. Selain karena budayanya yang heterogen, juga karena banyak aspek yang dapat mereka pelajari. Khusus bagi Yukito, ia dengar masakan Indonesia itu sangat beragam macamnya. Dan sebagai kepala pelayan yang paling dipercaya oleh ayah Lelouch, Alfred Francois von Alensmeier, pria Jerman inilah yang mengawal mereka berlima. Sebenarnya, beliau sudah mengasuh mereka berlima sejak mereka balita sampai beranjak remaja.
“Akhirnya sampe juga.”, kata Kazahaya pas ngeliat Alfred sibuk dengan koper mereka di ban berjalan itu.
“Banyak juga ya bawaan kita.”, kata Kamui kagum.
“Call the porter. Aku nggak mau disuruh ngangkut barang.”, kata Lelouch.
“Ya iyalah. Itu bukan kerjaan kita kali.”, kata Kimihiro enteng.
“Alfred udah bawa-bawa enam porter kok.”, kata Yukito.
“Baguslah.”
Alfred langsung menghampiri lima ‘nona besar’-nya dan memimpin jalan ke luar bandara. Diikuti enam porter yang masing-masing keretanya penuh. Memang bawaan mereka gila-gilaan sih. Dengan langkah anggun dan sedikit angkuh, mereka berlima berjalan melewati orang-orang yang langsung terpana akan kecantikan mereka. Kazahaya menarik Lelouch.
“Siapa yang jemput?”, tanyanya.
“Kurang tau. Aku denger dari pemerintahan kok.”, jawab Lelouch.
“Mmhh...”, empat sepupunya mengangguk mengerti.
Mereka sampai juga di gerbang bandara dan disambut dengan angin panas Jakarta.
“I must find a salon. Ada Loreal kan di sini?”, tanya Yukito langsung.
“Iya, rambutku udah nggak enak nih.”, kata Kamui.
“Eh, itu yang jemput kita kan? Ya, pasti itu.”, kata Kimihiro sambil menunjuk Limousine keluaran Marcedes Benz tahun 2005 itu. Sebuah sedan mewah panjang berwarna metalik dengan bendera merah putih itu. Dan benar saja, Limo itu berhenti tepat di depan mereka. Dua orang lelaki berbadan besar, bersetelan tuxedo hitam, kacamata hitam dan wireless mike menyambut mereka. Jelas, bodyguard sewaan pemerintah. Ia langsung menyalami Alfred.
“Selamat datang di Indonesia.”, sapanya.
“Terima kasih.”, jawab Alfred sopan.
“Bagaimana perjalanan Anda?”
“Lumayan.”
“Lumayan bikin pantat pegal.”, desis Kazahaya.
“Hush!”
“Boleh saya tahu yang mana duta besar sementara Swiss?”, tanya pengawal satunya sopan.
“Saya.”, Lelouch menyalami mereka berdua, “Lelouch vi Britania.”
“Selamat datang, Tuan. Sekarang, kita langsung ke Istana Presiden atau bagaimana?”, tanya si pengawal lagi.
“Setelah saya cek jadwal, penyambutan saya diundur menjadi minggu depan. Jadi saya mau ke kediaman saya dulu.”, jawab Lelouch tegas.
“Bisa kita berangkat sekarang?”
“Sebentar, saya menunggu...”, Lelouch langsung berbinar matanya saat melihat peliharaan kesayangannya, “Paulo!”
Seekor anjing Siberian Husky berbulu putih-abu siver itu berjalan anggun mendekati tuannya. Tentu saja dengan kawalan orang dalam bandara yang sudah diberi tip besar oleh Lelouch.
“Oke, kita berangkat sekarang.”, kata Lelouch sambil mengambil tali anjingnya.
“Silahkan.”
Lelouch berjalan masuk ke Limo dengan anggun sambil membawa Paulo. Disusul Kazahaya, Kamui, Kimihiro dan Yukito. Mereka duduk di belakang dan sengaja menyekat dengan ruangan depan mobil dimana Alfred dan pengawal serta supir berada. Mereka tak suka privasi mereka diganggu. Tak lama, sedan super lux itu melaju ke jalan tol menuju ke kawasan Pondok Indah. Melewati jalan tol yang panjang dan kosong.
“Hah... What a long journey!”, keluh Kamui sambil duduk selonjor di salah satu sofa dalam Limo itu.
“Kan udah sampe juga.”, kata Yukito sambil menyetel AC ke suhu terdingin.
“Tol-nya lumayan juga ya. Lumayan mahal maksudnya.”, komentar Kimihiro sambil menghidupkan televisi.
“Emang mahal ya? Rasanya biasa aja deh.”, kata Kazahaya. Ia sibuk membuka kaleng Apple Chips daritadi.
“Bayangin kalo tiap hari kamu lewat sini. Tua di jalan. Udah macet, tol juga mahal.”, kata Lelouch sambil membuka botol sampanye. Di depannya sudah tersedia lima gelas tinggi.
“Iya juga ya? Mana katanya Jakarta rawan banjir, ih serem...”, kata Yukito.
“Apa hubungan tol sama banjir?”, tanya Kamui heran.
“Kapan Yuki kalo ngomong nyambung?”, canda Kazahaya.
“Sindrom kota besar dan pusat segalanya deh.”, sambung Kimihiro.
“Biar aku yang urus semuanya. Serahkan aspirasi kalian sama si dubes ini.”, kata Lelouch sambil mengisi lima gelas dengan sampanye dan mengambil salah satunya, “Mending kita bersulang.”
“Oke!”, empat sepupunya langsung mengambil gelas sampanye masing-masing dan mengangkatnya, “For our arrival, cheers!!!”
Lima gelas berisi sampanye asli Prancis berdenting. Merayakan sampainya mereka dari Swiss ke ibukota Indonesia ini. Mereka masih tertawa-tawa dan berbincang tentang kesan mereka pada negara tropis ini sementara Limousine mewah yang mereka naiki sudah memasuki daerah Jakarta Barat. Mereka berlima mulai memperhatikan wajah ibukota yang penuh gedung pencakar langit dan kemewahan. Sesekali mereka menunjuk bangunan yang keren dan mengomentarinya. Atau sekedar gantian melempar lelucon dan ketawa bareng. Atau sekedar ngobrol. Tentunya sambil menghabiskan sampanye mereka.
Lalu Limo itu melewati jalan-jalan biasa dimana wajah bobrok dibalik kemewahan muncul. Pengemis, perumahan kumuh, tumpukan sampah dan keburukan lainnya. Apalagi saat ada perbaikan jalan yang membuat sebagian besar mobil jadi macet. Lelouch mendengus kesal saat ada seorang cowok berambut coklat menyetop Limo mereka dan meminta mobil mereka putar jalan. Rupanya ia salah seorang dari kuli yang bekerja di sana.
“Kok perbaikan jalan pas jam kerja gini sih?”, ujar Lelouch kesal.
“Nggak ada jam lain?”, celetuk Kazahaya.
“Nggak gitu masalahnya. Bikin macet. Lagian... Itu yang namanya kuli bangunan ya?”, Lelouch memperhatikan cowok-cowok berbadan besar dan serem itu, “Mukanya sangar-sangar ya? Kucel pula. Panas-panasan gini pada nyangkulin aspal? Ih... Aku sih nggak mau kerja kasar kayak gitu.”
“No choice in this world for them.”, kata Kamui pelan.
“Iya juga sih...”, kata Lelouch, masih memikirkan kuli barusan.
“Kalo aku sih, lebih nggak suka liat itu tuh.”, tunjuk Kazahaya ke sebuah penjara besar dimana polisi lagi masukin banyak tahanan baru yang mukanya serem-serem.
“Prison?”, tanya Yukito.
“Iya. Liat deh, orang barbarian semua isinya. Mereka kan sampah masyarakat yang udah bikin rusuh dimana-mana. Kadang aku setuju sama hukuman mati untuk beberapa kasus.”, kata Kazahaya sambil makan Apple Chips-nya.
“Wah, kamu peduli hukum juga ya?”, komentar Kimihiro.
“Nggak juga sih. Tapi aku nggak suka sama penjual narkoba. Mati juga nggak masalah mereka.”, kata Kazahaya enteng.
“Koruptor juga tuh.”, kata Yukito.
Semua mengangguk setuju.
Tanpa mereka duga, Limousine mereka disalip secara kasar oleh sebuah angkot berwarna biru muda. Membuat Limo mereka agak selip dan menjatuhkan gelas sampanye Kimihiro sampai pecah.
“Damnit! Sialan tuh mobil! Kalo nggak bisa nyetir, ya jangan ngebut!”, umpat Kimihiro sebal sambil memunguti pecahan gelasnya.
“Udah, jangan. Biarin petugas kebersihan nanti yang beresin.”, kata Lelouch.
“Apaan sih barusan namanya? Udah isinya sesak, penuh, padet nggak jelas? Kayaknya juga dempet-dempetan benget duduknya? Mana kerasa coba AC-nya?”, Kimihiro naroin pecahan gelas ke tempat sampah.
“Angkutan umum. Nggak ada AC dengan bayaran seribu sampai tiga ribu rupiah.”, lapor Yukito.
“Hah? Nggak ada AC? Di Jakarta yang panas gini? Sumpek dong? Lagian... Fasilitas apaan yang bisa didapet dengan seribu sampe tiga ribu ya? Bayanginnya aja aku takut duluan. Ih, aku sih nggak mau disuruh naik gituan.”, kata Kimihiro merinding.
“Iya... Mereka sih terpaksa. Untung kita punya cukup duit untuk punya sedan.”, kata Yukito. Lalu ia melihat ada seorang pengamen lagi nyanyi di kaca jendela Limo mereka. Yukito bingung, “Dia ngapain sih?”
“Ngamen lah! Masa’ nyanyi tanpa pamrih?”, kata Kazahaya.
“Hah? Ngamen apaan? Setahuku di Swiss yang ngamen itu diem di trotoar pake saksofon. Kalo nggak pake biola. Itu apaan gitar kecil gitu?”, tanya Yukito.
“Ya, ngamen ala Indonesia...”, kata Lelouch bingung mau jawab apa.
“Tapi lumayan juga deh. Suaranya nggak jelek-jelek amat. Tapi aku nggak suka gitar kecil nggak jelas suaranya itu.”, Yukito melihat pengamen itu mengulurkan topinya, “Kasih aja apa ya? Kasihan. Berapa ya?”
“Dikit aja, nggak usah banyak-banyaklah.”, kata Kimihiro.
“Ya deh.”, Yukito membuka kaca mobil dan menyerahkan selembar lima puluh ribuan sama si pengamen. Si pengamen yang bengong menatap Yukito.
“I... Ini semua buat saya?”, tanyanya tak percaya.
“Iya, maaf ya saya cuma punya segitu, ambil aja ya.”, jawab Yukito lembut sambil menutup kaca jendela.
Mereka berlima melihat dari kejauhan pas si pengamen itu lari ke kolong jembatan sambil peluk-pelukan sama temennya yang kayaknya sesama pengamen juga. Bahagia banget kayaknya. Yukito bingung.
“Emang segitunya ya?”, tanyanya.
“Bagi mereka lima puluh ribu gede kali?”, kata Kamui.
“Dengan penghasilan mereka yang rata-rata sepuluh ribu sehari sih iya. Itu gede banget.”, kata Lelouch.
Mereka kembali berbincang ngalor ngidul sambil minum sampanye dan nyomotin Apple Chips yang langsung dibawa Kazahaya dari Swiss. Sesekali mereka mengomentari keadaan Jakarta yang sebagian besar bukannya bikin mereka berkesan malah miris. Banyak sisi kehidupan kelam dan menyedihkan yang baru mereka lihat. Di hari pertama mereka, bukannya kekaguman yang mereka rasakan. Lalu Limousine mereka berhenti mendadak, mengagetkan dan membuat mereka berteriak.
“Ouch!”
“What the hell is that just now?”, teriak Kimihiro.
“Apa itu? Ya ampun suku pedalaman banget sih!”, umpat Kamui saat melihat ada seorang cowok berbadan besar dan berambut panjang dikejar puluhan massa yang bawa-bawa sabit, arit, parang dan lain-lain sambil berteriak marah. Di belakangnya lagi rombongan polisi mengejar. Kamui cengok, “Hah? Itu diuber sama orang sebanyak itu?”
“Pasti preman gitu deh.”, kata Kazahaya.
“Preman sih preman. Gembongnya kali ya? Terus mantan napi yang kabur dari penjara gitu terus ngebunuh nenek-nenek? Abisnya dikejar sama polisi sampe sebanyak itu? Pasti yang dendem sama dia banyak deh.”, kata Kamui tajam.
“Barbar ya?”, kata Yukito polos.
“Iya tuh, mau dibakar idup-idup mungkin? Bukannya banyak ya di Indonesia?”, tanya Kamui sambil angkat bahu.
“Banyak kenyataan hidup yang ngeri ya di sini?”, kata Lelouch.
“Yah, hidup memang berat. Apalagi dengan gosip-gosip ada gempa 7,9 skala ricther lah, gelombang pasang lah, longsor lah, tsunami lah...”, sambung Kazahaya.
“Ih, serem...”
“Bisa kita ngomongin hal lain yang lebih menyenangkan nggak?”, tanya Kamui.
Jadilah mereka ngobrolin rencana-rencana mereka selama di Jakarta. Mulai dari nyicip makanan dari resto ke resto, hunting baju bermerk buat ke kampus, belanja abis-abisan di Plasa Indonesia, beli sedan baru buat kuliah, sampe ngeliat kampus mereka dimana mereka akan menuntut ilmu setahun ke depan. Secara ya, mereka diterima di Universitas Pelita Harapan. Akhirnya setelah setengah jam lewat, sedan mewah itu memasuki bilangan Pondok Indah yang notabene terkenal dengan keelitannya yang di atas rata-rata. Mereka memasuki salah satu rumah besar bergaya klasik dengan taman besar di depannya. Lelouch cs langsung bersemangat liat rumah itu.
“Oke. Mewah, cukup. Luas, sip. Tapi air mancurnya kurang rame ah.”, kata Lelouch sambil melihat air mancur yang cuma ada satu itu.
“Protes aja. Udah disediain juga.”, kata Kamui.
“Eh, udah disediain mobil ya? Ada Jaguar S-type sama Bugati Veryon tuh.”, kata Kazahaya sambil menunjuk ke lahan parkir.
“Lumayan juga. Ntar deh, kalo sempet aku mau nambah satu Lambor.”, kata Yukito sambil mikir, “Dealer-nya dimana tapi?”
“Gampanglah itu. Yang penting sekarang aku mau tidur!”, kata Kimihiro.
Limousine mereka berhenti tepat di depan enterance mewah berpilar empat itu. Alfred membukakan pintu dan mempersilahkan mereka keluar.
“Silahkan, Nona.”, katanya sopan.
“Makasih, Alfred!”, jawab mereka berengan.
Lelouch keluar disusul empat sepupunya. Mereka masuk mendahului Alfred dan pengawal yang bertugas mengangkut semua barang mereka masuk. Kamui langsung menutup hidung.
“Uhh... Rumah ini banyak debunya.”, kaluhnya.
“Masa’ sih? Aku nggak ngerasa gitu.”, kata Kimihiro.
“Aku alergi debu. Sedikit aja ada debu aku pasti ngerasa!”, balas Kamui.
“Oh iya.”
“Sekarang mending kita take kamar dulu deh. Beresinnya ntar aja kalo udah tidur. Aku capek banget!”, kata Lelouch.
Mereka masuk dan meneliti rumah baru mereka. Peralatan semuanya nomor satu, interior rumah top abis dan taman luar maupun dalam yang berkelas. Semuanya terlihat mewah dan mahal namun tetap berkesan homey. Kazahaya langsung senang melihat ada sebuah taman di bagian belakang rumah. Lumayan luas untuk berkebun.
“Aku mau itu jadi taman pribadiku ya. Aku mau nanem macem-macem di sana.”, katanya semangat.
“Emang kamu suka nanem?”, tanya Yukito.
“Nggak lah. Sama tanah aja aku jijik. Jadi, mungkin aku bakal perlu tukang kebun yang jago soal taneman.”, kata Kazahaya.
“Yah, nggak masalah sih, pake aja. Aku juga kayaknya bakal sangat memerlukan sopir pribadi. Secara aku doyan shopping.”, sambung Kimihiro.
“Iya juga. Kalo aku, aku perlu koki yang pinter masak makanan apa aja. Kalo bisa jago makanan barat juga sih. Hmm...”, Yukito ikutan mikir.
“Aku juga mau nyari satu orang khusus buat jagain rumah, kayak satpam gitu. Lebih bagus lagi kalo dia bisa ngerawat anjing sih. Kasihan Paulo kalo nggak ada temen.”, kata Lelouch.
“Aku nggak perlu yang aneh-aneh. Cukup babu biasa yang bisa bersihin semua debu secara tuntas!”, tandas Kamui sambil masih bersin-bersin karena alergi debunya kumat. Kasihan deh liatnya.
“Bener semuanya. Nggak kebayang aku mesti nyetir sendiri di Jakarta yang macet dan panas. Ogah deh.”, kata Watanuki sambil naik tangga menuju lantai dua.
“Iya, aku juga nggak mau masak. Nanti tanganku keiris pisau, atau keciprat minyak. Nggak suka deh.”, kata Yukito.
“Aku juga nggak kebayang disuruh mandiin Paulo. Aku sayang sih sama dia, tapi urusan gituan sih... Maaf deh.”, kata Lelouch.
“Setuju, setuju! Aku juga paling nggak mau bersih-bersih. Debu dikit aja alergiku kumat, gimana kalo nyapu?”, kata Kamui mendukung.
“Nah, kan? Baru kalian semua ngerti kenapa aku nggak suka tanah. Tapi aku suka tanemannya aja.”, kata Kazahaya.
Mereka tiba di lantai dua dan duduk di sofa ruang keluarga yang sangat nyaman itu. Lelouch menyuruh Alfred membuat jus jeruk dingin.
“Jadi intinya kita semua perlu pembantu kan?”, kata Lelouch.
“Bukan sekedar babu. Tapi sopir.”, ralat Kimihiro.
“Gimana kalo supir satu, tukang kebun satu dan la la la?”, usul Yukito.
“Eh, iya juga. Gitu aja deh. Biar ramean dikit ni rumah.”, kata Kazahaya semangat. Yang lain juga mengangguk.
“Iya. Secara tu babu bakal sibuk sama rumah segede ini.”, kata Kamui.
“Iya. Bolehlah. Setuju semuanya?”, tanya Lelouch.
“Oke!”, mereka mengacungkan jempol.
Alfred datang sambil bawa-bawa nampan berisi jus jeruk dingin.
“Alfred, barang-barang kami gimana?”, tanya Lelouch.
“Sudah di ruang tamu. Supir dan pengawal sudah kembali ke Istana Negara.”, kata Alfred sabar.
“Oh... Eh, Alfred. Minta tolong dong.”, kata Kazahaya cepat.
“Apa itu?”, tanya Alfred.
“Bikinin pengumuman yang ‘Dicari Pembantu’ gitu dong.”, kata Kazahaya.
“Kenapa nggak langsung cari ke biro pembantu, Nona?”, tanya Alfred.
“Kami maunya kamu yang seleksi pantes apa nggak mereka. Kami lebih percaya kau daripada biro-biro nggak jelas gitu.”, kata Lelouch tegas.
“Okelah kalo begitu.”, Alfred mengeluarkan catatan kecilnya, “Yang dibutuhkan apa saja?”, tanyanya.
“Supir!”, kata Kimihiro cepat.
“Tukang kebun. Yang cakep kalo bisa.”, kata Kazahaya.
“Babu. Yang rela ngapain aja dan dibabuin.”, kata Kamui.
“Koki. Jago masakan barat dan Indonesia. Kalo dia bisa masakan Jepang dan Cina lebih bagus. Yang bisa bikin roti dan cake juga ya.”, kata Yukito semangat.
“Satpam. Merangkap yang ngurus Paulo juga.”, kata Lelouch singkat.
“Sudah saya catat. Persyaratannya apa saja?”, tanya Alfred.
“Pas foto 3x4 dua lembar? Surat ijazah kelulusan dan babas buta warna?”, kata Yukito angkat bahu.
“Lo kira mau tes masuk ITB? Udah, terserah Alfred aja deh. Pokoknya kalo mereka geblek ya jangan diterima.”, kata Kamui.
“Tapi harus ganteng pokoknya.”, kata Kazahaya ngingetin.
“Yang penting sih dia bisa nyetir. Itu.”, kata Kimihiro semangat. Dia udah mendaftar mall mana aja yang mau didatengin.
“Secepatnya, Alfred. Tolong kamu tempel hari ini juga. Kami bener-bener butuh mereka.”, kata Lelouch.
“Okelah kalo begitu. Saya urus sekarang juga.”, kata Alfred sambil beranjak pergi.
Tinggallah lima ‘nona besar’ itu duduk berlima di sana.
“Babu kita ntar kayak apa ya?”, kata Lelouch menerawang.

***

Sementara itu, di tengah kejamnya kota Jakarta yang panas, macet, polusian...

“Suzaku! Tolong kamu gali sebelah sana!”, komando si mandor, “Pake helm kamu itu. Sekalian rambut gondrong kamu itu dikuncir. Gerah saya melihatnya.”
Cowok berambut coklat itu hanya mengangguk. Di panasnya siang Jakarta, ia hanya pake celana panjang dan singlet doang. Sambil bawa-bawa cangkul, ia langsung berajak ke jalan sebelah luar dan menyapa temannya sesama kuli bangunan yang lain.
“Hoi!”, sapanya ke cewek berbadan gede itu. Satu-satunya pekerja kasar cewek yang kerja disana.
“Hai, Suzaku.”, jawabnya.
Mereka langsung melanjutkan nyangkul di area itu. Panas matahari yang menyengat, asap knalpot yang bikin muka kotor dan derungan mesin mobil bikin pekerjaan mereka itu kayak nggak sesuai dengan gaji yang mereka dapat. Suzaku, si cowok kuli berambut coklat panjang itu dulunya seorang tentara militer yang bekerja demi negara. Namun karena suatu hal, ia diberhentikan, menjadi tentara disersi dan hidup terlunta-lunta di kota Jakarta. Jadilah ia sekarang bekerja sebagai kuli bangunan yang bergaji kecil, tak sesuai dengan keringat yang diperasnya.
“Suzaku, jangan ngelamun lo. Gali tu tanah.”, kata cewek itu.
“Oh, iya.”, Suzaku melanjutkan menggali, “Varan, kok lo mau sih kerja ginian?”, tanya Suzaku heran.
Varan cuma angkat bahu, “Gue sih yang penting dapet duit.”
“Lo ada orang yang mesti diidupin?”, tanya Suzaku lagi.
“Adek gue. Kasian, dia masih pengen sekolah. Lo tau lah sekolah jaman sekarang mahal banget.”, jawab Varan, “Lo sendiri?”
Suzaku hanya menggeleng, “Nggak. Cuma gue sendiri sih. Tapi ya emang jaman sekarang cari duit susah.”
“Udah, nyangkul sono, jangan ngeluh mulu.”, kata Varan sambil lanjut nyangkul.
Suzaku hanya diam dan jadi ikutan nyangkul juga. Sambil melihat kejamnya kota Jakarta yang memaksa warganya bating tulang mencari sesuap nasi. Dari kejauhan, Suzaku melihat rombongan pengamen yang sibuk di lampu merah.

“Tak tahan lagi... Ingin bertemu... Berjuta kata... Ingin terucap...”, Touya lagi ngamen dengan ukulele kesayangannya. Dengan suaranya yang mayan fals itu, dia mengadu nasib di salah satu angkutan umum yang berwarna biru muda.
“Maaf, permisi...”, seorang cewek berkacamata mengulurkan topinya, “Makasih pak... Makasih, bu...”, katanya saat menerima beberapa keping duit gopekan, cepekan, “Makasih banyak Neng!”, kata cewek itu pas ada cewek yang ngasih seribuan.
“Permisi, bang supir!”, teriak Touya sambil melambaikan tangan ke si supir.
Kedua pengamen itu menepi ke trotoar dan duduk di sana sambil tertawa-tawa.
“Dapet berapa, Ji?”, tanya Touya sambil melukin ukulelenya.
“Seribu empat ratus. Lumayan.”, jawab Momiji sambil ngitungin duit di topi lusuhnya, “Bisa makan nasi sama telor ntar mlem.”, katanya senang.
“Baguslah. Bersyukur kita masih bisa idup ya. Walau susah.”, kata Touya senang.
“Yang penting kerja kita halal.”, kata Momiji. *dua orang polos dan baik*
Panas yang menyengat dan asap knalpot bukan halangan bagi mereka untuk mengamen dari angkot ke angkot. Touya hanya mengenakan kaos putih dan celana pendek yang sudah kucel, robek dan kotor. Momiji juga kostumnya tak jauh lebih baik. Mereka berkenalan sejak Touya datang ke Jakarta. Setelah orang tuanya di kampung Banten meninggal dan rumahnya yang dibangun di atas tanah milik negara itu digusur karena akan dibangun penjara, Touya terpaksa mengungsi ke Jakarta dan hidup terlunta-lunta di sana. Makan hanya dua kali sehari hasil ngamen dan tidur di kolong jembatan.
“Touya, udah lampu merah lagi tuh.”, kata Momiji sambil memasukkan uang yang dikuel-kuel ke saku celananya.
“Oh ya? Eh, kita ke angkot yang itu aja, rame!”, kata Touya bersemangat.
“Ya udah, buruan! Jangan sampe diserobot pengamen lain!”, kata Momiji sambil lari-lari ke angkot biru muda itu.
“Oke deh!”, Touya ikutan lari. Sempat melihat angkot di depannya. Seorang supir yang sedang berwajah masam karena angkotnya tak begitu banyak memuat penumpang.

“Blok M! Blok M! Yang mau ke blok M!!!”, teriak si kondektur sambil dengan semangatnya mukulin pintu. Ia mengintip sedikit ke dalam dan menyapa supir angkot partner kerjanya itu, “Bengong aja.”
“Iya nih.”, jawab Shizuka pendek.
“Napa lo?”, si kondektur membuka pintu depan dan duduk di samping Shizuka.
“Setoran, Gent. Masih kurang banyak. Mana aku belon sempet beli bensin.”, keluhnya, “Gila, makin banyak aja orang naik baswei.”
“Busway.”, ralat Argent.
“Apapun lah. Gimana nih, tak mungkin aku nyetor sama bos dengan duit segini doang.”, kata Shizuka lagi.
“Yah, lo jangan desperet gitu napa?”, kata Argent sambil liat ke depan, “Ijo noh!”
Shizuka hanya menghela nafas dan menjalankan angkotnya. Beginilah kahidupan sehari-harinya. Jadi supir angkot yang kerja dari pagi sampe malem demi ngejer setoran. Di kampungnya dulu di Bukit Tinggi, dia ketipu sama rentenir yang mengakibatkan dia jual tanah dan emas simpanannya nikah. Apalagi ternyata utangnya nggak lunas. Jadilah hidupnya di sana diteror preman sewaan si lintah darat itu. Dengan harta terakhirnya, ia memutuskan mengadu nasib di ibukota dan hidup terlunta-lunta di tengah krisis ekonomi yang membuatnya miskin sepanjangan.
“Pinggir, Bang!”, kata seorang ibu.
“Depan dikit, Bu. Ada polisi.”, kata Shizuka sambil terus memajukan angkotnya.
“Jangan kedepanan! Saya kan mau stop di sini.”, protes si ibu.
“Iya, Bu. Depanan.”, jawab Shizuka lagi. Setelah sekitar dua puluh meteran, angkot pun berhenti. Si ibu turun dengan wajah kesal sambil menyerahkan seribuan.
“Bu, kurang lima ratus...”, kata Shizuka dengan muka memelas.
“Huh!”, si ibu nambahin lima ratus, “Duit, duit mulu. Nih!”
Shizuka menghela nafas sambil nerima duit yang dikasih tak ikhlas itu, “Makasih, Bu...”, katanya. Pundaknya ditepuk Argent. Shizuka melajukan angkotnya. Sekilas ia melihat rombongan narapidana yang baru keluar dari penjara.

“Jangan lakukan hal haram seperti itu lagi, mengerti?”, tanya si polisi.
“Baik, Pak.”, jawab semua mantan napi.
“Ya sudah, sekarang kalian bebas. Jangan melakukan kriminalitas lain. Selamat siang.”, kata si polisi dan ia melepas sekitar lima puluhan mantan napi.
“Lo mau kemana abis ini, Rik?”, tanya seorang cewek sambil menepuk pundak sobatnya. Ia tersenyum.
“Nggak tau nih, Ghee. Gue nggak ada tujuan.”, jawab Rikuou.
“Yah, kita ngelakuin hal itu juga karena butuh duit. Jaman sekarang, mau kerja halal duit dikit. Haram juga dosa...”, kata Ghee menerawang.
Cowok brewokan dan bertato itu hanya tersenyum, “Gue juga kalo bisa milih nggak mau kerja ginian.”, katanya.
“Hidup di Jakarta kalo miskin emang berat, ya Rik.”, kata Ghee.
Rikuou, cowok besar ini abis dipenjara tiga hari untuk dimintai keterangan. Ia dan lima puluh temannya, karena tuntutan hidup, terpaksa bekerja di ladang ganja ilegal di daerah Bekasi. Empat hari lalu, saat mereka sedang tidur, ladang itu digerebek polisi dan mereka dipenjara. Sialnya, bos mereka yang udah tau kalo usaha haram mereka tercium polisi udah melarikan diri duluan. Rikuou yang tak punya tempat tinggal agaknya akan menjalani hidup terlunta-lunta sekeluarnya dia dari penjara.
“Lo mau kemana, Ghee?”, tanya Rikuou.
“Ora ngartos. Kayaknya gue mau cari kerja yang halal deh. Gue udah insap.”, kata Ghee dengan muka pasrah.
“Gue tau. Tapi lo mau kerja apaan? Lo lulus SD aja nggak?”, tanya Rikuou.
Ghee hanya angkat bahu, “Nggak tau lah. Jalanin aja. Sampe ketemu, Rik. Gue seneng pernah punya sobat kayak lo.”
Rikuou hanya bisa menatap kepergian sobatnya dalam diam. Dia sendiri tak punya tujuan. Paling juga tidur di taman atau pinggiran toko. Rikuou berjalan tanpa arah. Dan melihat rombongan besar yang mengejar seorang cowok berjambang.

“TUNGGU!!! Mati lo!!!”, teriak puluhan orang yang mengejar dia dengan sabit.
“Mampus gue!!!”, Fuuma masih terus berlari dari kerumunan orang yang mengejarnya. Sesekali ia menoleh takut ketangkep.
“Woi, FUM! Nyerah aja napa?”, tanya Raven sambil teriak dan ngejer bawa-bawa parang gede.
“Gue kan...”, Fuuma terus lari, “Nggak perlu diuber segininya!”
“Ga perlu diuber pala bapak lo ijo! Balikin duit keluarga gue! Dasar penipu lo!”, teriak Raven lagi.
“Tapi kan gue napi, ga punya duit!!!”, Fuuma masih sempet jawab.
“Temen gue juga hamil gara-gara lo, peyang! Berhenti ga lo!”, teriak Raven marah. Fuuma makin nelen ludah.
“Bukan gue, sumpah bukan gue yang nidurin Kotori!”, jawab Fuuma lagi.
“Banyak nyap-nyap lagi lo! Yang punya poni jabrik sapa lagi di kampung gue? Semuanya, TANGKEP TERUS BAKAR IDUP-IDUP!!!”, komando Raven.
Fuuma adalah (mantan) kepala-gembong-ketua-bos preman sekitar yang doyannya kalo nggak malak anak orang, godain cewek sekampung, atau berantem sama rombongan preman lain. Terkenal suka ngehamilin anak orang dan ninggalin gitu aja. Kelakuannya yang kriminal itu sudah bikin penduduk kampung resah. Apalagi anak buahnya terbilang banyak dan takut semua sama dia. Tapi, sejak polisi turun tangan dan nguber Fuuma, jadilah sedikit demi sedikit anak buahnya mengkhianati dia dan kabur. Yang membuat dia hidup terlunta-lunta sendirian. Sekarang malah dia lagi diuber massa plus polisi di belakang massa.
“Fuuma Monou! Menyerahlah! Anda sudah kami kepung!!!”, teriak si polisi yang bawa moge (motor gede) sambil pake toa.
“Ya amplop! Gue kan udah bilang gue mau tobat!!!”, teriak Fuuma hopeless.
“Tobat, tobat! Makan tu tobat pas lo masuk penjara!”, teriak Raven.
Jadilah Fuuma terus berlari mempertaruhkan nyawa di tengah panasnya kota Jakarta.

***

“Alfred.”, panggil Lelouch.
“Ya, Nona Lulu?”, jawabAlfred sopan.
“Apa pengumuman nyari pembantu sudah kamu tempel?”, tanya Lelouch lagi.
“Sudah, Nona. Saya tempel di depan rumah.”, jawab Alfred.
Lelouch mengangguk, “Baiklah, terima kasih.”
“Sama-sama, Nona.”, jawab Alfred. Dia baru saja akan beranjak ke ruang pribadinya saat Lelouch memanggilnya lagi.
“Emm... Alfred?”
“Ya, Nona?”
Lelouch berpikir sebentar, “Bisa kita minum teh bareng?”
Alfred bingung, “Maaf?”
“Kita sudah lama nggak duduk bareng dan ngobrol. Ayolah.”, ajak Lelouch sambil tersenyum.
“Baiklah.”, jawab Alfred. Ia mengikuti Lelouch ke teras belakang dimana nona lain sudah menunggunya.
“Lulu! Eh, ada Alfred!”, kata Kazahaya senang.
“Duduk, Alfred. Sudah lama kita nggak ngeteh bareng.”, kata Kamui senang.
“Terima kasih, Nona.”, jawab Alfred.
Mereka duduk melingkar di meja teh yang lumayan besar. Teras berlantai parket kayu itu menghadap ke taman belakang yang lumayan luas dan rumput semua. Ada sebuah air mancur kecil dan beberapa lampu taman. Di sebelah kirinya, agak jauh dari taman, ada sebuah kolam renang besar yang masih kosong. Dari arah pantry, Yukito datang bawa-bawa senampan teh dan kue basah.
“Nona, biar saya saja...”, kata Alfred langsung berdiri.
“Eh, jangan!”, kata Yukito sambil cepat-cepat menaruh nampan di meja teh, “Sekali-sekali aku pengen juga melayani Alfred. Habis selalu kamu yang melayani kami.”, kata Yukito sambil tersenyum.
“Sini aku bantu.”, Kimihiro langsung berdiri dan menaruh cangkir teh di depan Alfred, “Silahkan, Alfred.”, katanya sambil tersenyum.
“Nona...”, Alfred merasa tak enak.
“Udahlah, nggak apa-apa. Ayo, ayo minum!”, kata Kamui sambil mengambil cangkir tehnya.
Semuanya mengambil cangkir teh dan minum bersama. Kamui dan Kazahaya bergantian bercerita, secara mereka yang paling doyang ngomong. Yukito hanya tersenyum-senyum sambil makan kue sementara Kimihiro nyoret-nyoret di kertas gambar rancangan baju terbarunya. Lelouch sendiri sambil membolak-balik koran sore. Alfred tersenyum melihat lima nonanya itu.
“Waktu cepat berlalu ya...”, kenang Alfred tiba-tiba.
Spontan tawa Kamui dan Kazahaya berhenti.
“Memang kenapa?”, tanya Kamui.
“Aku mengurus kalian sejak kalian lahir. Aku melihat pertumbuhan kalian sejak kalian sekecil ini.”, kata Alfred sambil menaruh tangan di lututnya, “Tiba-tiba kalian sudah remaja.”, Alfred tertawa, “Aku juga sudah tua ya. Tahun ini aku berumur enam puluh tujuh.”
“Tapi Alfred hebat. Sudah umur segitu belum ada yang ngalahin judo.”, kata Kazahaya sambil menyeruput tehnya.
“Karate juga.”, sambung Yukito.
“Masakan Alfred juga enak. Aku suka Escargo buatanmu.”, kata Kimihiro.
“Ah, saya tak begitu bisa...”, kata Alfred merendah.
“Tapi memang karena kelebihanmu, ayah mempercayakan kami padamu.”, kata Lelouch sambil menutup koran sorenya.
“Alfred dulu jago bacain cerita loh. Masih inget nggak pas Alfred bacain cerita Swan Lake? Terus Lulu tidur duluan?”, kata Kamui.
“Inget! Waktu kita baru masuk TK kan?”, Kazahaya ikut semangat.
“Iya, terus karena aku suka sekali cerita itu jadi aku paling cepet tidur.”, kata Lelouch tertawa.
“Aduh, itu cerita jaman kapan ya?”, kenang Kimihiro.
“Jaman kita baru masuk TK lah.”, jawab Yukito.
“Ihh... Kangen...”, kata Kamui dan Kazahaya.
Alfred tertawa, “Terkadang aku sendiri agak sulit percaya putri-putri kecil (putri-putri kecil?) sudah menjelma sebesar ini.”
“Alfred...”, rajuk semua.
“Tapi aku tetap merasa kalian tak berubah. Tetap manja dan seperti anak kecil yang harus aku lindungi.”, sambungnya.
Semua berpandangan lalu tertawa kecil. Serentak mereka menghampiri Alfred dan memeluk orang tua itu, “Umm... Alfred... Kami sayang sama Alfred...”
Alfred tertawa kecil, “Aku juga sayang kalian.”
Lama mereka berpelukan berenam. Seakan kembali ke masa kecil dimana Alfred selalu setia menjaga mereka berlima. Sampai sekarang pun, Alfred tak pernah melepaskan penjagaannya. Sebenarnya aku sendiri belum rela ada orang lain yang melayani nona-nona yang kusayangi ini. Namun ini permintaan mereka. Alfred menghela nafas berat.
“Ayo, kalian berlima. Ini sudah sore. Siapa yang belum mandi?”, tanya Alfred.
Semua berdiri dan serentak menunjuk Kazahaya.
“Hah? Aku? Aku sudah mandi kok!”, protesnya.
“Kapan?”, tanya Lelouch.
Kazahaya mengingat. Dan malu sendiri, “Di Swiss...”, katanya pelan.
“Tuh kan? Dasar kambing! Mandi sana!”, kata Kamui jahil.
“Kamui! Kayak kamu udah mandi aja!”, teriak Kazahaya manja.
“Udah dong! I’m not like you, stinky!”, ejek Kamui.
“What did you say! I’ll kick your ass!”, teriak Kazahaya sambil mengejar Kamui mengelilingi meja minum teh itu. Kamui dengan cepat menghindar.
“Uh huh? Try then!”, katanya sambil tertawa.
“Let’s see! Yuki, don’t let him escape!”, teriak Kazahaya.
Kamui berlari dan bersembunyi di belakang Alfred, “You can’t get me, Kazahaya! We~ek!”, ejeknya.
“Kamui! Ugh!”, Kazahaya dengan cepat mengejar Kamui. Jadilah mereka puter-puteran di antara Alfred. Kamui berpegangan di jas Alfred dan tertawa-tawa mengejek Kazahaya. Cowok pirang itu cemberut dan terus mencoba menggapai Kamui.
“Alfred! Get him to me!”, kata Kazahaya.
“Nona Kaza, Nona Kamui... Ayolah...”, kata Alfred kewalahan.
“No! You have to protect me from him, Alfred!”, kata Kamui cepat.
“Jangan mau kalah, Kaza!”, teriak tiga nona lain sambil tertawa-tawa.
Bayangkanlah adegan lambat dimana Kamui berlindung di balik Alfred yang kewalahan, dikejer sama Kazahaya yang cemberut. Tiga yang lain tertawa-tawa sambil menyemangati mereka. Aduh, sangat damai dan so sweet. Alfred tertawa juga melihat kelakuan Kamui dan Kazahaya yang nggak dewasa-dewasa itu. Yang satu manja yang satu rada egois. Aku benar-benar tak rela nona-nona manis ini dilayani orang lain.

***

Keesokan paginya...

Suzaku sudah lengkap dengan setelan kulinya. Seragam warna coklat butek dan helm warna kuning dengan tulisan ‘Utamakan Keselamatan’ itu. Sambil bawa-bawa cangkul dan megangin perut karena belum makan, ia berjalan pelan ke tempat kerjanya.
“Hah, hidup jaman sekarang sulit ya. Andai saja aku bisa dapet pekerjaan yang lebih baik...”, kata Suzaku.
Tanpa sadar ia melewati sebuah rumah sangat mewah dimana ada pengumuman nyari pembantu. Eh? Kayaknya barusan aku liat sesuatu? Spontan Suzaku langsung memundurkan langkahnya dan membaca sesuatu yang di luar dugaan.
“Dicari... Untuk secepatnya. Pembantu yang terdiri dari... Sopir. Aku nggak gitu jago nyetir.”, Suzaku sok mikir. Dia lanjut baca.
“Pembantu...”, Suzaku garuk-garuk kepala, “Nggak deh. Hmm, satpam?”
Suzaku tiba-tiba teringat masa lalunya sebagai tentara militer yang terlatih di medan perang. Beberapa kali kenangannya saat nyawa hampir melayang. Ala si *siapa sih yang di Jomblo tea yang naksir sama Riyanti Catwright?*. Lalu Suzaku mengangguk mantap dan tersenyum.
“Bolehlah aku coba ngelamar. Lumayan daripada nguli.”, lalu ia teringat proyeknya nyangkul jalan Sudirman, “Aku kerja dulu aja kali ya. Ntar sore baru ngelamar. Iya deh, gitu aja.”
Lalu Suzaku pun berlalu dari depan rumah mewah itu. Tak lama setelah Suzaku berlalu dengan cangkulnya, Touya pun datang bermodalkan baju lusuh sekali serta ukulele yang dinamain ‘Usagi’ sama dia. Sambil menyanyi lirih sebuah lagu dari Melly yang berjudul Tak Tahan Lagi, ia berjalan terhuyung dengan muka dekil.
“Aduh... Gimana yah makan hari ini? Sarapan saja aku tak sanggup. Bahkan tadi malem aku makan nasi sama kuah tempe doang. Laper...”, keluhnya.
Touya menatap rumah besar itu dan menelan ludah, “Enak ya orang gedongan. Bisa makan enak, bisa santai tanpa ngamen, dan... lho?”, Touya mendekati selebaran yang tertempel di sana.
“Eh, pada nyari pembantu...”, kata Touya tertarik. Lalu dibacanya pengumuman itu, “Ih, ada koki. Aku kan sempet kerja di restoran pas di Banten. Mungkin aku bisa ngelamar ya?”, Touya mulai berpikir dan mengangguk.
“Yah, nggak ada salahnya dicoba kan? Tapi... Ntar sore aja deh. Kan aku udah janjian sama Momiji mau ngamen di bunderan HI.”, lalu Touya pun pergi dari sana sambil senyum-senyum.
Setelah Touya berlalu, seorang cowok bermuka datar, saking datarnya nggak ketauan dia lagi sedih apa gimana.
“Aduh... Cakmana (bagaimana) lah ini. Aku dipecat dari kerjaanku sebagai supir...”, keluhnya.
Shizuka lagi berjalan menunduk sambil mikir gimana hidupnya ke depan. Baru aja perusahaan angkot memecatnya dengan alasan resesi ekonomi yang tak kunjung membaik. Mereka terpaksa melakukan pemecatan beberapa supir dan Shizuka termasuk salah satunya. Sekarang dia terkatung-katung karena nggak punya pekerjaan.
“Cakmana aku makan kalau gini caranya? Haduh...”, tepat saat itu juga Shizuka melirik ke arah rumah besar dan matanya tercantol pada pengumuman gede itu.
“He? Caknya (sepertinya) aku melihat sesuatu...”, Shizuka langsung menghampiri pengumuman itu dan membacanya baik-baik.
“Ha... Mereka perlu supir! Rancak bana (bagus sekali)! Bisalah aku kerja disini!”, katanya bersemangat sambil membaca syaratnya, “Hafal jalan, siplah! Aku kan supir angkot! Punya SIM A, ya punyalah! Ganteng? Sip! Hah? Ganteng?”, Shizuka langsung bingung, “Cukup ganteng nggak yah aku?”, dia mikir, “Ah, yang penting usaha, nanti sorelah aku kesini lagi.”, lalu ia juga berlalu sambil sisiulan.
Tak sampai lima menit Shizuka pergi, muncullah Rikuou dengan pose melipat tangan di dada dan jalan menunduk. Sejak kemarin belum makan karena nggak punya uang. Pengangguran baru keluar dari penjara sih.
“Aduh, ari iyeu teh kumaha (gimana nih)? Urang teh (gue tuh) belum makan, belum mandi, teu aya (nggak ada) duit mau ngapa-ngapain...”, keluhnya.
Lalu Rikuou memandang sinis pada rumah besar di hadapannya itu.
“Enak ya jadi orang kaya. Mau apa-apa tinggal beli.”, lalu urat sebel muncul di jidatnya, “Mau nyimeng gampang. Nggak tau apa mereka nanemnya susah. Pake acara ditangkep pula!”
Rikuou hampir aja berlalu kalo nggak liat pengumuman gede itu. Dia mundur lagi dan membacanya, “Apaan? Dicari pembantu? Eh, ada lowongan tukang kebun! Hmm... Kan urang udah jago nanem ganja? Kalo ganja aja bisa bunga lain mah cetel! Okelah, urang mau nyoba ngelamar.”, kata Rikuou. Baru ia menyadari sesuatu yang aneh.
“Mesti ganteng, cakep dan keren? Tukang kebun apaan tuh?”, Rikuou menyadari tampangnya dan berlalu, “Ntar sore deh, urang mau mandi dulu...”
Setelah Rikuou berlalu dengan muka kucel, datanglah Fuuma. Kalo yang lain datang dengan damai, nah, si Fuuma masih dalam keadaan diincer polisi dan diuber massa. Jadilah dia berlari dan terus berlari.
“Ya ampun... Kagak ada kapok-kapoknye ni orang!”, kata Fuuma sambil lari.
“Woi, lo nyerah aja napa?”, teriak orang kampung.
“Aye kagak akan nyerah! Lari terusss... Tancep!”, kata Fuuma sambil mempercepat larinya dan berbelok ke arah rumah gede itu. Sempet ngerem juga pas liat ada pengumuman gede nyari babu. Fuuma langsung lari di tempat dan bacain tu tulisan.
“Hah? Ada lowongan kerje. Aye sih kagak masale, yang penting ada tempat berteduh. Jadi babu aja kali ye...”
Sementara Fuuma mikir, taunya rombongan yang ngejer Fuuma makin deket. Alhasil deh dia ngibrit lagi.
“Ya elah! Posternye...”, Fuuma lari mundur dan menarik si poster malang lalu lari lagi sekenceng-kengcengnya sambil bawa-bawa poster lowongan kerja.

***

“Kok belum ada yang dateng buat lamaran ya?”, tanya Kamui sambil membalik-balik halaman majalah Resort.
“Yah, belum ada yang tertarik mungkin?”, kata Kazahaya sambil ngemil Pringles.
“Tapi kan ditempelnya udah dari kemaren.”, kata Yukito.
“Iya. Aku mulai bosen nih di rumah mulu. Pengen jalan!”, kata Kimihiro.
“Tapi tetep, aku nggak akan biarin kalian nyari pembantu di luar. Aku mau semua lulus dari tes Alfred. Itu sudah peraturan keluarga kita kan?”, kata Lelouch.
“Iya, Lulu...”, jawab empat sepupunya. Memang di antara mereka Lelouch itu paling tegas dan saklek kalo soal peraturan keluarga. Dasarnya dia didikan pemerintahan sih sama bokapnya.
Mereka berlima, setelah menghabiskan sehari nyampah tak berarti, pada menghabiskan sore di balkon sambil duduk-duduk dan melakukan hal-hal tak berguna. Kayak baca majalah lah, ngeteh lah, intinya sih santai sambil menikmati suasana Jakarta di sore hari. Alfred masih berkutat dengan laporannya pada ayah lima nona ini.
“Terus kapan kita dapet babunya sih?”, kata Kimihiro.
“Nggak tau. Tergantung berapa dan siapa yang baca pengumuman kita.”, jawab Lelouch. Nggak sadar kalo pengumuman itu udah diambil Fuuma dan nggak bakalan lagi ada yang baca setelah Rikuou cs.
“Kamu kata-katanya kurang mengundang, kali?”, kata Kazahaya.
“Udah cukup mengundang kok. Perlu aku tempel foto Kamui lagi mandi?”, kata Lelouch sebel.
“Maksud lo apa?”, tanya Kamui mendelik.
“Serahkan semua sama yang di atas. Ketemu apa nggak kan takdir-Nya juga.”, kata Yukito yang paling religius itu.
Lalu bel pintu berbunyi keras. Mereka berlima berpandangan.
“Babu baru bukan ya?”, tanya Kazahaya.
“Biar Alfred yang menentukan.”, kata Lelouch.

Empat cowok berbadan besar *dan bertampang lusuh, kucel, dekil, miskin, jelek banget lantaran abis petantang petenteng seharian* itu sudah berdiri tegap di depan pagar raksasa yang menjulang di hadapan mereka *disyut tampak belakang alias punggung mereka*. Angin sore semilir berhembus seakan mengantar mereka untuk memasuki dunia baru yang akan mereka kenal *baru disyut muka kucelnya*. Rikuou, Suzaku, Shizuka dan Touya berdiri bagaikan pejuang Armageddon yang siap mati. Mereka berempat berpandangan gugup dan mengangguk.
“Melamar juga?”, tanya Suzaku sambil bawa cangkul. Menambah kedramatisan suasana saja.
Ketiga cowok itu mengangguk.
“Masuk?”, tanya Touya sambil memetik senar ukulelenya dengan wajah sok pahlawan mau ke medan perang.
“Tak ada pilihan lain.”, kata Rikuou sambil menikmati semilir angin di wajah brewokannya.
“Apa lagi yang kita tunggu?”, kata Shizuka sambil membawa buntelan kain berisi baju dan diiket di ranting kayu.
Mereka berempat mengangguk. Lalu melangkahlah mereka menuju gerbang raksasa itu dengan langkah mantap dan yakin. Namun langkah dan keyakinan itu terhenti saat mereka mendengar langkah berlari dari belakang. Nafas yang tersenggal dan capek. Mereka berempat menoleh dan melihat Fuuma yang udah babak belur dan dekil.
“Tunggu...”, kata Fuuma.
“Mau melamar juga?”, tanya Suzaku.
“Iya...”, jawab Fuuma.
“Kalau begitu, mari kita lewati rintangan ini bersama.”, kata Rikuou.
“Mungkin sudah takdir kita dipertemukan.”, kata Touya.
“Kita berlima ada di sini karena satu pekerjaan. Hanya kita berlima!”, Shizuka mulai mendramatisir penuh kekaguman.
“Itu sih gara-gara pengumumannya gue copot jadi pada nggak ada yang tau.”, kata Fuuma sambil mengeluarkan sobekan pengumuman.
“Ye...”, kata mereke berempat.
Lalu terdengar kericuhan di belakang Fuuma. Ia langsung pucat dan merangkul empat cowok tadi, langsung beranjak masuk, “Udahlah, kita mesti buruan masuk!”
“Woi... Woi... Sabar!”, teriak yang lain.
Akhirnya mereka berlima masuk juga ke halaman rumah yang luasnya nyaingin lapangan bola itu. Mereka berdecak kagum dan kaget ada halaman rumah segede itu. Rikuou langsung desperet mengingat kepengenannya menjadi tukang kebun. Segede gini gimana ngurusnya?
“Bujug buset ini taman apa lapangan yak?”, tanya Fuuma kagum.
“Gede banget! Tau gini gue nggak mau jadi tukang kebon!”, keluh Rikuou.
“Aduh, gue juga ngelamar jadi satpam. Ngejaga dimana nih?”, Suzaku ikutan parno ngeliat taman segede gaban.
Lalu tiba-tiba pintu gerbang tertutup secara otomatis.
“Huaa...!!! Pintunya nutup sendiri! Takut!!!”, teriak Touya sambil menclok ke Rikuou dengan muka pucet.
“Heh! Woi! Itu kan pake remot!”, teriak Rikuou kaget.
“Hah? Remot apaan sih?”, tanya Touya.
“Ya elah, norak lu ye. Remot itu buat ngendaliin dari jarak jauh gitu.”, kata Shizuka langsung.
“Ohh...”, Touya mengangguk, “Kayak di tipi-tipi yak?”
“Pernah liat tipi?”, tanya Shizuka.
“Pernah di kampung. Tapi yang item-putih gitu.”, jawab Touya.
“Jadul ya lo!”, komentar yang lain.
Lalu obrolan mereka terputus saat pintu depan terbuka dan Alfred berdiri di depan pintu. Fuuma cs langsung diam karena Alfred mengeluarkan hawa-hawa pembunuh.
“Maaf, ada perlu apa?”, tanya Alfred.
Mereka berlima tatap-tatapan gugup sambil sikut-sikutan nggak jelas.
“Saya bertanya, ada perlu apa?”, ulang Alfred serem.
Masih sikut-sikutan nggak jelas. Fuuma, Rikuou, Touya dan Shizuka langsung menatap Suzaku yang berdiri paling tengah dan memberi isyarat, ‘Ngomong lu!’. Suzaku menunjuk mukanya sendiri dengan tatapan bingung. Fuuma cs mengangguk. Akhirnya Suzaku memberanikan diri.
“Maaf, mas. Kami berlima mau ngelamar kerja disini.”, kata Suzaku sambil nyengir-nyengir maksa. Emang mukanya paling sumringah sih, susah.
Alfred membenarkan letak kacamatanya, “Kalian mau melamar disini?”
Mereka berlima bertatapan lagi lalu mangangguk tak yakin, “I... iya.”
Suasana mendadak sepi dan mengerikan.
“Saya tak bisa memberikan pekerjaan bagi orang yang tak yakin mereka mau kerja atau tidak.”, kata Alfred.
Spontan mereka berlima berdiri ditegap-tegapin, “Iya! Kami mau melamar kerja!”
Alfred tersenyum licik, “Bagus. Aku suka anak muda yang bersemangat seperti kalian.”, lalu Alfred menghampiri mereka dan berdiri tepat di depan Suzaku, “Tapi semangat saja tak cukup.”
Alfred mulai berjalan mengintari lima anak muda itu. Suzaku cs rada-rada merasa aneh dan gugup. Alfred menjauh dari mereka dan kembali berdiri di teras, “Kalian bisa bekerja di sini apabila sudah bisa melalui ujian dariku.”, kata Alfred.
“Hah? UJIAN?”, Suzaku cs bingung bersama.
“Ya, ujian tentu saja. Yang akan kalian layani itu bukan orang sembarangan. Aku tak bisa membiarkan kalian seenaknya.”, tiba-tiba ada sinar gitu mencrang di kacamata Alfred. Suzaku cs menelan ludah karena ngeri.
“Kalian mau menjalani ujian ini atau tidak?”, tanya Alfred dengan mimik kejam.
Lagi, mereka bertatapan. Suzaku mengagguk. Yang lain, setelah mengeraskan hati juga ikut mengangguk. Mereka menatap Alfred dengan wajah serius dan keyakinan yang mantap, “Kami siap!”
Seutas senyum mengerikan terbit di wajah Alfred, yang membuat Suzaku cs tak enak perasaan, “Baiklah kalau begitu.”, Alfred berbalik dan menuju ke halaman besar yang isinya rumput semua, “Kalian ikuti aku. Akan aku tunjukkan ujian yang mesti kalian tempuh.”
Suzaku menelan ludah. Dengan muka ‘Ya udahlah, kita nggak punya pilihan lain. Kita udah sampe di sini dan nggak mungkin mau mundur lagi.’ Suzaku cs mengikuti Alfred. Bersiap menjalani ujian yang akan orang tua itu berikan.


To Be Continue...
Kembali Ke Atas Go down
http://Fukafufuka.blogspot.com
 
Poor Prince (Benar-Benar Miskin)_Chapitre 1_We Need Workers!
Kembali Ke Atas 
Halaman 1 dari 1

Permissions in this forum:Anda tidak dapat menjawab topik
Manga Mania :: "just play. have fun. enjoy the game." :: art gallery.-
Navigasi: